Kam. Okt 9th, 2025

Polemik Royalti Musik di Kafe dan Restoran: Usaha Kecil Kena Getah, Musisi Tersenyum?

Polemik Royalti Musik di Kafe dan Restoran
Polemik Royalti Musik di Kafe dan Restoran
74 / 100 Skor SEO

Saat Musik Bukan Lagi Cuma Hiburan

Musik emang selalu punya tempat di hati banyak orang. Di kafe, restoran, sampai warung kopi kekinian, suara gitar akustik atau playlist pop mellow seringkali jadi pelengkap suasana. Tapi, siapa sangka, alunan musik yang terdengar ringan itu sekarang jadi isu berat, khususnya buat para pemilik usaha.

Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, buka suara soal pungutan royalti musik di ruang publik. Dalam keterangan resminya, beliau menegaskan bahwa pemutaran musik untuk tujuan komersial itu bukan sekadar hiburan, tapi bentuk komersialisasi yang memang seharusnya dihargai secara adil.

“Ini bukan soal pemerintah untung-untungan, tapi menghargai karya cipta. Hak cipta itu harus dibayar,” kata Supratman.

Pernyataan ini langsung menimbulkan reaksi beragam. Di satu sisi, musisi dan pencipta lagu tentunya senang karena karya mereka dianggap punya nilai ekonomis. Tapi di sisi lain, pelaku usaha—terutama UMKM di bidang kuliner—mulai cemas. Mereka merasa dibebani kewajiban tambahan, padahal bisnis mereka aja udah terseok-seok habis pandemi kemarin.

Royalti Musik dan Peraturan yang Gak Semua Paham

Sebenarnya, polemik ini bukan hal baru. Sejak Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta diberlakukan, urusan royalti mulai diatur lebih ketat. Lalu muncullah Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagai badan resmi yang bertugas menarik dan menyalurkan royalti ke para pemilik hak cipta.

Yang bikin kaget, pendapatan royalti musik yang dulunya cuma sekitar Rp400 juta per tahun, kini meroket jadi Rp200 miliar per tahun. Gila, kan? Lonjakan ini bikin banyak pelaku usaha mulai ngerasa dampaknya.

Jadi apa sih sebenarnya yang ditarik? Dan berapa besarannya?


Tarif Royalti Musik: Berapa yang Harus Dibayar?

Restoran dan Kafe: Rp60.000 per Kursi

Berdasarkan keputusan LMKN tahun 2016, restoran dan kafe dikenakan tarif royalti sebagai berikut:

  • Royalti pencipta lagu: Rp60.000 per kursi per tahun
  • Royalti hak terkait (artis/label): Rp60.000 per kursi per tahun
Baca Juga  Dari Tukang Gali Lumpur Jadi Raja Kecil: Kisah Arogansi dan Flexing Kades Kohod Arsin yang Kini DPO

Jadi, misalnya kamu punya kafe dengan 50 kursi, berarti kamu harus bayar:

  • Rp60.000 x 50 kursi = Rp3.000.000 (untuk pencipta)
  • Rp60.000 x 50 kursi = Rp3.000.000 (untuk hak terkait)

Total: Rp6.000.000 per tahun.

Lumayan banget, apalagi kalau kafe kecil baru buka dan belum stabilin arus kas.

Diskotek dan Kelab Malam: Bisa Ratusan Juta

Tarifnya lebih tinggi lagi kalau jenis usahanya diskotek atau kelab malam:

  • Royalti pencipta: Rp250.000 per meter persegi per tahun
  • Royalti hak terkait: Rp180.000 per meter persegi per tahun

Bayangin, kalau kelab kamu punya 200 m², total bayarnya:

  • Rp250.000 x 200 = Rp50.000.000 (pencipta)
  • Rp180.000 x 200 = Rp36.000.000 (hak terkait)

Total: Rp86.000.000 per tahun. Itu belum termasuk iuran lainnya yang biasanya juga dikenakan di dunia hiburan malam.


Antara Keinginan Menghargai Musisi dan Beban Pelaku Usaha

Bagi para musisi dan label, aturan ini jelas kabar baik. Akhirnya ada sistem yang memaksa pemutaran karya mereka dibayar, dan itu masuk akal. Di tengah dunia digital yang penuh pembajakan, royalti bisa jadi salah satu sumber pendapatan paling nyata.

Tapi, buat pelaku usaha kecil? Ini bisa jadi momok.

Bayangin kamu punya kedai kopi di pinggir jalan. Cuma ada 10 kursi, kadang sepi juga. Tapi karena suka suasana santai, kamu putar playlist akustik dari YouTube atau Spotify. Tanpa sadar, kamu bisa kena tagihan jutaan per tahun.

“Bukannya gak mau bayar, tapi usahanya masih merintis. Belum balik modal. Masa putar lagu harus bayar jutaan?” – ungkap salah satu pemilik kafe di Jogja.

Ini yang bikin aturan royalti musik jadi kontroversial. Banyak yang merasa kurang sosialisasi, tiba-tiba diminta bayar, bahkan ada yang mengaku dikunjungi petugas dan diminta segera melunasi.


Gimana Sih Cara Pembayarannya?

Pembayaran royalti musik dilakukan minimal setahun sekali. Mekanismenya sebenarnya cukup simpel:

  1. Pemilik usaha daftar ke LMKN
  2. Menentukan jenis usaha dan kapasitas
  3. Hitung tarif sesuai ketentuan
  4. Bayar dan dapat bukti pembayaran
Baca Juga  Revisi UU TNI 2025: Kembali ke Dwifungsi? Atau Sekadar Pembenahan?

Masalahnya, banyak yang gak tahu prosedur ini. Bahkan sebagian besar UMKM gak pernah dengar soal LMKN. Mereka taunya cuma Kemenkumham, bukan lembaga kolektif yang ngurus hak cipta.


Siapa Sebenarnya yang Diuntungkan?

Kalau dilihat dari sisi musisi, ini sistem yang bagus banget. Mereka selama ini sering ngerasa karyanya dimanfaatkan tanpa izin. Musik diputar seenaknya di ruang publik, tapi gak pernah dapet kompensasi.

Tapi dari sisi pelaku usaha? Jelas mereka merasa “ketiban getah”.

Sebenarnya, ini bukan soal siapa yang diuntungkan, tapi bagaimana sistem ini bisa dijalankan secara adil. Pemerintah harusnya bukan cuma bikin regulasi dan tarik pungutan, tapi juga kasih edukasi, transisi, dan insentif buat pelaku usaha kecil.

“Yang penting sistemnya transparan dan proporsional. Jangan sampai UMKM makin sulit berkembang,” kata pakar hukum ekonomi dari UGM.


Kenapa Gak Putar Musik Tanpa Hak Cipta Aja?

Nah, ini mulai jadi solusi alternatif. Beberapa pelaku usaha memilih putar lagu-lagu dari platform bebas lisensi atau musik royalty-free.

Ada juga yang berlangganan aplikasi streaming yang punya izin komersial, walaupun biayanya tetap gak murah.

Tapi sayangnya, playlist royalty-free kadang kurang catchy. Pelanggan udah terbiasa dengerin hits dari musisi terkenal. Kalau tiba-tiba disuguhin instrumental random, suasana malah jadi aneh.


H2: Ada Jalan Tengah Gak, Sih?

Jawabannya: ada, tapi butuh kerja sama.

  1. Pemerintah harus lebih masif sosialisasi soal kewajiban royalti ini. Jangan tiba-tiba datang ke kafe minta tagihan.
  2. LMKN bisa buat sistem skema subsidi silang. Misalnya, kafe kecil dikenakan tarif ringan, sementara hotel dan pusat belanja bayar lebih tinggi.
  3. Pelaku usaha bisa diajak kerjasama lewat komunitas atau asosiasi, jadi proses pembayaran dan pengelolaan hak cipta gak terasa menakutkan.
  4. Musisi juga perlu aktif edukasi publik bahwa royalti itu bukan pemerasan, tapi penghargaan.

Kalau semua pihak saling paham, bukan gak mungkin royalti musik bisa jalan tanpa jadi polemik berkepanjangan.

Baca Juga  Razia di Brebes: 15 Menit Ratusan Motor Karyawan Pabrik Ditilang Gara-Gara Lawan Arus

Kafe Didatangi Petugas Royalti

Beberapa waktu lalu, sempat viral video kafe kecil yang tiba-tiba didatangi petugas dari LMK. Mereka menagih royalti karena kafe tersebut memutar lagu-lagu populer dari speaker.

Kejadian itu bikin netizen heboh. Banyak yang menyalahkan petugas, tapi sebagian juga merasa pemilik usaha harusnya lebih tahu soal aturan ini.

Sayangnya, kejadian seperti ini bisa merusak citra aturan itu sendiri. Bayangin kamu baru buka bisnis, belum balik modal, eh tiba-tiba disuruh bayar jutaan cuma karena playlist kamu muter lagu dari Tulus atau Pamungkas.


Apa Kata Musisi?

Beberapa musisi papan atas menyambut baik sistem royalti ini. Bagi mereka, ini langkah maju yang sudah ditunggu sejak lama.

“Selama ini kita cuma bisa pasrah. Lagu kita diputar di mana-mana, tapi gak pernah dapet apa-apa. Sekarang setidaknya ada kejelasan,” kata salah satu musisi senior dalam wawancara dengan media lokal.

Tapi mereka juga paham, pelaku usaha kecil gak bisa disamakan dengan korporasi besar. Perlu ada pendekatan yang lebih manusiawi.


Musik Adalah Hak, Bukan Sekadar Suara Latar

Royalti musik adalah bentuk penghargaan terhadap karya. Tapi cara implementasinya tetap harus adil dan masuk akal.

Jangan sampai niat mulia ini malah bikin pelaku UMKM takut putar lagu. Musik yang seharusnya bikin suasana adem, malah jadi pemicu stress karena tagihan tak terduga.

Kalau memang tujuannya baik, kenapa gak dijalankan dengan cara yang baik juga?


Tabel Tarif Royalti Musik Berdasarkan Jenis Usaha (2024)

Jenis UsahaTarif PenciptaTarif Hak TerkaitTotal per Tahun (Estimasi)
Restoran/KafeRp60.000/kursiRp60.000/kursiRp6.000.000 (50 kursi)
Diskotek/KelabRp250.000/m²Rp180.000/m²Rp86.000.000 (200 m²)
Bar dan BistroRp180.000/m²Rp180.000/m²Rp72.000.000 (200 m²)

Kalau kamu pelaku usaha dan masih bingung soal aturan ini, mungkin saatnya kamu cek langsung ke website LMKN atau datang ke kantor perwakilan terdekat. Jangan sampai nanti musik malah jadi masalah.

Karena di balik setiap lagu yang kamu putar, ada karya, ada tenaga, ada harapan dan itu layak untuk dihargai.

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *